Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Aku Anak Siapa?


Oleh: Wati Umi Diwanti

SOEARA-PELADJAR.COM - “Kenapa sih ibu ga kerja aja kayak ibunya teman-temanku? Malah jualan kue ga mutu kayak gini!” Kekesalanku pada ibuku memuncak. Bagaimana tidak, beliau itu punya ijazah S2 tapi malah milih jualan kue yang ga jelas hasilnya berapa. Kalau kami sudah kaya sih gapapa. SPP ku selalu terlambat. Aku malu setiap kali mau ulangan selalu namaku tertera di daftar tunggakan SPP.  Apalagi saat kelulusanku tahun ini, aku sangat kecewa. Ibu ga bisa bayar uang perpisahan dan Ijazahku belum bisa diambil karena masalah keuangan belum beres.

“Sabar ya Nak, ibu nunggu uang bayaran kue-kue kering ibu dulu. Insya Allah nanti cukup untuk pelunasan SPP, uang perpisahan, juga pendaftaran kuliah kamu.”

“Sabar sabar sabar, sampai kapan bu? Ibu ga liat apa aku tu selama ini selalu sabar seperti yang ibu minta. Tapi kali ini aku ga tahan lagi bu. Aku ga mau kuliah kalau harus naik angkot, capek bu!”

Ah, lagi-lagi ibu bergeming. Setiap kali aku protes, selalu saja pergi ke kamar. Apalagi kalo aku tanya di mana ayahku. Ujungnya hanya isakan tangis, ga pernah ada jawaban yang kuinginkan.

Gara-gara ibu juga aku kehilangan sahabat-sahabatku. Ibu ga pernah izinkan aku jalan-jalan bareng mereka. Aku ga boleh dekat sama teman laki-laki. Padahal lumayan, aku bisa nyicipi berbagai makanan mahal yang ibu ga pernah bisa belikan untukku andai aku diizinkan jalan sama mereka.

Gea, salah satu temanku, punya pacar tajir. Enak deh, selalu ditraktir ke restoran-restoran mahal. Putri juga, pacarnya sudah kerja. Dibelikan HP, baju dan apa saja yang dia minta. Dia juga cerita kalau tiap bulan selalu kasih sembako untuk keluarganya. Aku? Boro-boro punya pacar, ada teman cowok sekedar sowan ke rumah saja, ibu cerewetnya minta ampun. Pada kabur semua mereka setelah kenal ibuku.

“Maaf ya Nak, tadi ibu ke toko-toko yang menjualkan kue kering ibu. Tahun-tahun sebelumnya mereka bisa bayar cash di depan. Tapi tahun ini kata mereka, daya beli menurun. Mereka ga berani bayar di depan, karena belum tentu kue-kuenya laku. Apalagi sekarang banyak saingan kue pabrikan yang harganya jauh lebih miring. Anak solihah doakan ibu ya, moga ada rezeky kamu buat kuliah.”

Argggh! Rasanya pengen kutendang-tendang tu tumpukan kue kering yang baru saja kukemas. Tiap hari jelang dan saat Ramadan kerjaanku ya bantu ibu kemas kue kering. Ga ada kemajuan, malah tahun ini kue-kue ini banyak ditolak toko-toko. “Aku bosan hidup kita begini  terus bu!”

“Sabar ya sayang.” Ibu memelukku dan mengusap kepalaku. Aku mau berontak tapi entah kenapa hati kecilku ga sanggup. Kurasakan detak jantungnya yang seolah bertahan untuk terus berdetak hanya demi aku. Tubuhnya sehangat mentari pagi. Tak sengaja kulihat matanya yang berkaca-kaca tapi bibirnya mencoba untuk tersenyum. Bagaimanapun tingkahku, ibu selalu memberikan pelukan hangatnya untukku setiap kali aku perlu.

Sebenarnya aku kasian lihat ibu, tiap hari kerja keras. Bikin kue lalu kemana-mana naik motor butut yang sering mogok. Tapi itu salah ibu sendiri, kenapa ga mau kerja. Padahal banyak perusahaan yang perlu tenaga ibu.

“Coba ada ayah, pasti hidup kita ga begini kan bu?” Kalimat yang selau dijawab ibu dengan senyum ketir. Tapi kali ini Ibu langsung pergi ke kamar. Akupun kembali menyusun kue-kue ke dalam kotak, sambil menahan kesal. Aku ga bisa ikut perpisahan. Padahal ini momen terakhir kumpul sama teman-teman.

Kupandangi 50 toples yang sudah siap antar. Tapi ga tau ke mana mengantar karena kue sebelumnya saja belum pada habis di toko-toko langganan ibu.

“Nisa, coba kemari Nak!” Tiba-tiba ibu memanggilku ke kamarnya. Dia menyerahkan sebuah album foto jadul. Dia memberi isyarat agar aku membukanya satu per satu.

Masya Allah, ibuku saat sekolah cantik sekali dan modis, ga pakai hijab. Banyak anak lelaki juga foto bareng ibu dan teman-temannya. Aku ga nyangka, seheboh ini masa muda ibuku. Tapi kenapa ibu ga izinkan aku nongkrong bareng temanku.

Hampir saja mulutku menganga mau protes. Ibu keburu menutup mulutku dengan satu jarinya. “Sstt.. ibu tahu kamu pasti mau protes ke ibu. Kenapa ibu larang kamu melakukan seperti yang ibu lakukan dalam foto-foto itu, iyakan?” Akupun mengangguk sambil terus membuka lembaran-lembaran album tersisa.

“Mungkin sudah saatnya kamu tahu. Dulu ibu juga mengalami masa muda sepertimu. Ibu sangat menikmati kebebasan masa muda. Ibu terbiasa menghabiskan waktu selepas sekolah dengan teman-teman. Ibu anak satu-satunya dan kakek nenek jarang di rumah. Ibu dan lawan-kawan selalu pergi kemana saja kami suka. Saling menginap di rumah salah satu dari kami pun sudah biasa."

Ibu menghela nafas lalu lanjut bercerita, matanya nanar. “Suatu ketika saat teman-teman ibu kumpul di rumah. Menjelang magrib, teman-teman perempuan ibu satu per satu pulang. Tinggallah seorang teman dekat ibu. Laki-laki. Kami sudah biasa kemana-mana berdua. Dia pulang belakangan.”

Mata ibu menerawang kosong, hanyut ke masa lalu. “Saat adzan magrib, kami sholat bersama. Rasanya sangat bahagia, bisa diimami orang yang dicinta. Malam itu begitu istimewa. Ibu yakin dia jodoh yang baik. Kami memang berencana menikah jika sudah lulus kuliah nanti. Tiba-tiba kakek dan nenekmu telpon, mereka ga bisa pulang malam itu. Seolah kabar baik dan kami semakin menikmati malam itu.” Tiba-tiba mulut ibu tercekat, seperti ingin melanjutakan berucap tapi berat. Air matanya tiba-tiba menganak sungai.

“Apa yang terjadi bu? Kok nangis sih? Jangan-jangan ibu…” Ibu langsung memelukku erat. Tangisnya kian menjadi. “Ibu melakukan dosa besar malam itu.” Lanjut ibu dengan nada bergetar dan berat.

“Hah, apa bu? Jadi aku anak haram?! Aku langsung tersentak, kulepaskan pelukan ibu dengan kasar. Tangis ibu tambah menjadi-jadi. “Pantas selama ini ibu ga pernah jawab tiap aku tanya aku anak siapa!” Hari itu aku benar-benar semakin benci pada ibu. Ga nyangka penampilan Islaminya selama ini ternyata hanya untuk menutupi dosa-dosanya.

Ibu berdiri dan memelukku dengan erat. Kudorong badannya menjauh dariku, kutatap matanya dengan tatapan penghakiman.

Ibu mencoba membujukku dengan suara lirih. “Dengarkan ibu dulu Nak, ayahmu orang baik.”

"Apa? Baik? Apanya yang baik bu? Kalau dia baik, aku ga akan terlahir jadi anak haram! Aku benci ibu, aku benci hidup ini!"

Ah entah kenapa ibu masih saja mendekatiku dengan lembutnya. Dia belai kepalaku. “Tidak nak, kamu bukan anak haram.” Paska kejadian itu, lelaki itu menghilang, ibu ketakutan. Berbagai cara ibu coba mencarinya. Ibu takut kalau-kalau hamil. Hari demi hari ibu selalu cemas. Rupanya Allah masih sayang sama ibu, ibu ga hamil.” Mendengar ini rasa kecewaku sedikit berkurang. Tapi masih saja belum jelas, aku ini siapa.

“Tapi sulit rasanya bagi ibu menjalani hidup selepas malam itu. Sampai ibu lulus S2 ibu mulai menginsyafi kehidupan ibu yang serba bebas selama ini. Lalu ada seorang lelaki baik yang mendekati ibu. Takut kejadian berulang, ibu langsung minta dia melamar ibu. Dia setuju, lalu kami menikah. Terus terang ibu gugup dan takut saat itu.”

“Orang itu tahu ga kalau ibu…?” “Tidak, justru itulah yang bikin ibu takut.  Setelah seminggu pernikahan kami, yang ibu takutkan akhirnya terjadi.” “Lalu gimana bu?” Tanyaku tak sabar.

“Ibu tak punya kata-kata untuk menyangkal, akhirnya tanpa banyak bicara dia ceraikan ibu. Dia merasa ibu tipu. Ibu ga bisa berbuat apa-apa, hanya minta satu. Jangan beritahu Nenek dan Kakek masalah ini. Diapun sepakat dan kami berpisah. Ibu harus mengaku pada Kakek dan nenek kalau ibulah yang minta cerai. Sebab itulah Nenek dan Kakek marah besar. Mereka menganggap ibu ga tahu diuntung dapat suami baik disia-siakan.”

Oowh inikah rupanya kenapa selama ini Kakek, Nenek acuh tak acuh pada kehidupanku dan ibuku.

“Lalu aku anak siapa bu?” Ga sabar kudesak ibu dengan oertanyaan sama berkali-kali. “Kamu anak ibu Nak, sebulan setelah ayahmu meninggalkan ibu, ibu baru sadar kalau sedang hamil."

“Kenapa ibu ga bilang ke ayah kalau di tubuh ibu sudah ada aku?”

“Tentu nak, ibu berusaha mencari keberadaan ayahmu tapi sulit, setelah enam bulan barunibu dapat kabar. Tapi sayang saat itu ayahmu telah mempunyai keluarga baru. Ibu ga mau mengganggu kehidupan mereka.” Ibu menyeka air matanya.

“Mungkin ini teguran Allah buat ibu. Ibu berharap ini bisa menggugurkan dosa-dosa ibu. Sejak itu ibu mencoba mendalami agama dan berusaha mendidikmu sebaik-baiknya. Itulah kenapa ibu ga mau kerja, ibu ga mau kamu ga punya siapa-siapa saat menghadapi masa remaja yang penuh dera. Lalu terlena pada orang asing di luar sana.  Cukup ibu yang mengalami pemgalaman buruk ini."

Kali ini aku yang menarik badan ibu untuk kupeluk erat. “Maafkan aku selama ini ya bu, aku merasa terkekang dengan segala aturan ibu. Aku juga sering marah sama ibu karena kesabaran ibu menghidupi keluarga kita seadanya. Ternyata semua itu demi aku.”

“Iya Nak, ibu selalu memaafkan apapun yang kamu lakukan. Aib ini ibu ceritakan agar kamu tidak terjatuh dilubang yang sama. Bahwa aturan Allah itu sebaik-baik penjaga manusia. Jangan sekali-kali kita mengindahkannya. Apalagi sekarang, setelah ibu rutin mengaji Islam, ibu semakin sadar bahwa apa yang ibu alami akibat tak lain akibat ibu melalaikan ayat-ayatNya. Dalam Alquran Allah sudah mewanti-wanti, agar kita tidak mendekati zina. Itulah Nak, ibu ga pernah suka kamu berinteraksi dengan lelaki tanpa keperluan syar’i.”

Aku hanya bisa meneteskan air mata, apa yang ibu lakukan mulai bisa kupahami dengan baik setelah hari itu. Akupun mulai ringan melangkahkan kaki untuk ikut ibu ke pengajian rutin. Selama ini aku selalu punya alasan untuk bisa menolak permintaan ibu untuk urusan satu ini.

***

Hari-hari setalah itu serasa lebih cerah. Aku pun tak malu lagi menjualkan kue-kue ibu. Kutemani ibu kemana saja dengan motor butut kami. Kupasarkan juga lewat media sosial milikku. Alhamdulillah orderan membanjir. Memang rezeky Allah itu dari mana saja.

Tiba-tiba seminggu jelang lebaran ada orderan dari sebuah perusahaan baru di kotaku. Mereka mau bagi-bagi untuk warga sekitar. Akhirnya SPP ku terbayar lunas, perpisahan pun bisa ku bayar. Tapi aku sudah tak begitu minat lagi untuk menghadiri perpisahan. Satu-satunya alasanku, hanya ingin bertemu dua orang sahabatku. Gea dan Putri.

Sayang, fakta tak sesuai harapan. Gea tidak hadir, hanya sebuah koran lokal yang kudapati. Disana ada inisial namanya. “Anak SMA buang bayinya di semak belukar.” Kawan-kawan ramai membicarakan Gea. Astagfirullah, innalilahi. Aku benar-benar ga menyangka.

Putripun tak lama di acara perpisahan. Tampak resah gelisah, dan setelah menerima telpon dia langsung pulang. Tak sempat kutanyakan kabarnya.

Tak lama setelah Putri pergi, ada seorang ibu-ibu cantik memasuki ruang perpisahan. Kulihat dia ngobrol dengan salah satu temanku yang dekat pintu. Setelah menatap ke seluruh penjuru ruangan wanita itupun pergi.

Temanku segera mendatangiku. “ Nis, kamu tahu masalah Putri?” Tanyanya sambil terhengal, seperti habis lari marathon. “Enggak, emangnya kenapa Nan?” “Kamu liat kan wanita tadi? Itu lagi cari Putri, dia itu istrinya Hendra, pacar Putri.” …  Aku tak mampu berkata-kata lagi.

***
Maha benar Allah dengan segala aturannya, siapa yang menentangnya akan kembali pada dirinya sendiri. Jikapun tidak di dunia pastilah di akhirat lebih berat lagi. (sp)

Posting Komentar untuk "Aku Anak Siapa?"